Saat saya masih duduk di bangku kelas 2 SMP, dari semester pertama sudah muncul desas desus study tour ke Bali. Saat berita itu secara resmi diumumkan kepala sekolah saat upacara bendera hari senin, sebagian besar siswa bersorak gembira. Siapa yang tidak tergoda dengan pesona Bali? Kabarnya, Bali memiliki banyak pantai yang indah dan banyak turis dari mancanegara berseliweran dimana-mana. Sebagian besar dari kami belum pernah melihat pantai karena daerah kami tinggal lumayan jauh dari laut. Kalaupun ada, yang paling mudah aksesnya adalah pantai Kenjeran, Surabaya. Tahun 2000-an, kendaraan pribadi tidak semasif sekarang, jadi masih sangat jarang orang-orang pergi pelesiran naik sepeda motor atau mobil pribadi seperti saat ini. Apalagi, saya tinggal di kabupaten, dimana jarak ke kota terdekat hampir dua jam dengan angkot yang ngetemnya suka-suka hati mengikuti mood kenek dan supirnya. Sedangkan turis asing, bisa dibilang sama sekali tak ada, karena seumur-umur saya belum pernah sekalipun melihatnya di daerah saya.
Mendengar rencana study tour ke Bali itu, rasanya campur aduk. Saya antusias sekaligus sangat khawatir. Antusias karena saya ingin sekali melihat pantai, dan yang paling penting adalah saya akan banyak bertemu turis asing nantinya. Itu akan menjadi momen pertama kalinya yang sungguh membuat saya bersemangat. Saya bisa mempraktekkan bahasa Inggris saya -yang jika saat ini saya konversikan maka masuk kategori pre beginner-. Meskipun demikian, saat itu saya cukup percaya diri karena menganggap kemampuan bahasa Inggris saya di atas rata-rata. Namun, di dalam lubuk hati kecil saya sungguh khawatir, study tour ke Bali pastilah tidak murah. Naik bus saja kabarnya perlu waktu 12 jam. Belum lagi total keseluruhan tour adalah 2 hari tiga malam, yang artinya akan ada budget untuk menginap setidaknya semalam di penginapan saat di Bali nanti.
Sebulan setelah pengumuman study tour ke Bali, para siswa menerima selebaran pengumuman mengenai breakdown perkiraan biaya yang totalnya mencapai 700ribu rupiah. Ya Tuhan! Saya betul-betul ingin menangis. Uang sejumlah itu adalah angka yang luar biasa banyak bagi saya. Uang saku saya saja hanya 500 rupiah. Jadi meskipun setahun penuh saya menabung dengan uang saku itu, 700ribu masih sangatlah jauh untuk digapai. Saya menangis hebat sesampainya di rumah. Saya tak sampai hati memberitahukan biaya sebesar itu ke Ibu saya yang saat itu sudah menjadi janda, namun saya juga sangat menginginkan study tour itu lebih dari apapun.
*Photo Credit: Unsplash
Saya kira, saya akan stress dan tertekan cukup lama dengan keadaan itu mengingat karakter saya yang sangat melankolis. Rupanya hari demi hari berlalu dan saya mulai mendengar keluhan-keluhan mengenai besarnya biaya study tour ini dari teman-teman yang lain. Saya merasa sedikit lega, setidaknya saya bukan satu-satunya yang memiliki masalah finansial menyangkut pembiayaan study tour ini. Lama kelamaan, saya berusaha menerima kenyataan, meskipun diam-diam saya berdoa supaya rencana study tour ke Bali gagal dan digantikan study tour ke tempat lain yang lebih murah.
Entah doa saya terkabul ataukah memang sudah rencana Tuhan, antara percaya dan tidak, sebulan setelahnya study tour ke Bali dibatalkan! Penggantinya adalah study tour ke Jogja. Itinerary-nya adalah ke candi Borobudur, Candi Prambanan, Malioboro, dan pantai Parangtritis. Ah, tidak kalah bagusnya dengan Bali. Candi Borobudur dan candi Prambanan adalah bangunan bersejarah warisan budaya dunia yang selalu ramai dikunjungi oleh turis mancanegara, sedangkan pantai Parangtritis adalah salah satu pantai terkenal yang kabarnya menjadi pantainya Nyi Roro Kidul. Kabar baiknya, proposal biayanya ‘hanya’ 300ribu rupiah. Memang masih mahal bagi saya, namun masih achievable dengan sedikit usaha. Kebetulan, saya memiliki sedikit tabungan yang sedianya untuk membeli sepatu baru. Saya bisa gunakan uang itu karena sepatu saya masih bagus. Saya masih punya waktu 6 bulan untuk menabung, dan sisanya baru saya akan meminta tambahan ke Ibu saya. Study tour yang penuh perjuangan, namun kenangannya akan terus teringat sepanjang hidup saya.
Sayangnya, saya tidak memiliki satupun foto hasil dari study tour kala itu. Kamera merupakan barang mewah. Saya masih ingat, di kelas saya hanya dua orang yang memilikinya. Itupun salah satunya mengaku meminjam dari pamannya, jadi bukan milik orang tuanya. Sebetulnya, saya ikut patungan iuran membeli kamera roll merk Fujifilm. Saya masih ingat per orang mendapatkan jatah 2x potret saja. Sayang sungguh sayang, kedua foto saya 'terbakar' karena shutter tidak fokus (atau tidak tepat?) sehingga hasil negatif film tidak bisa dicetak.
Meski gagal ke Bali, saya masih menyimpan mimpi suatu saat saya ingin ke Bali. Bukan untuk berwisata, tapi untuk tinggal di Bali. Alasannya, supaya saya bisa berwisata kapanpun saya mau, dan supaya saya bisa ke pantai kapanpun saya ingin.
Siapa sangka, 10 tahun kemudian saya diterima menjadi salah satu trainee di salah satu resort besar di Nusa Dua. Saya memang sempat kembali ke Surabaya untuk menyelesaikan study dan mencari pekerjaan, namun hanya bertahan dua setengah tahun saja. Setelah itu, sejak awal 2013 saya pindah ke Bali, sampai sekarang.
Selama di Bali, saya memang jarang pergi berwisata kecuali jika ada kerabat atau teman yang datang, dan saya menemani mereka jalan-jalan. Selebihnya sama saja seperti tinggal di Surabaya, hidup saya disibukkan dengan bekerja di hotel dan rebahan serta bermalas-malasan di atas kasur saat libur tiba. Sesekali memang ke pantai Sanur, karena pantai itu yang terdekat. Hanya 5 menit jalan kaki dari tempat tinggal saya saat ini. Sayangnya, saat ini semua pantai di area Sanur aksesnya sedang ditutup karena Corona.
Saat ini saya sedang mengurus partner visa ke Australia karena suami saya pindah ke Sydney sejak akhir tahun lalu. Rasanya berat sekali meninggalkan Bali, pulau yang saya impikan untuk ditinggali sejak SMP. Meski saya tak lagi excited saat melihat turis asing, meski saya tak lagi norak melihat pantai, Bali tetap memikat. Budayanya, toleransinya, keramahtamahan penduduk lokalnya, aneka masakan khasnya, dan keindahan alamnya.
Saat ini Bali sedang ‘sakit’ karena sektor pariwisata terdampak sangat keras akibat pandemi Corona. Seumur hidup, saya tak pernah melihat Bali yang saya tinggali selama 7 tahun terakhir menjadi kota mati. Di Sanur, tempat dimana saya tinggal, sebagian besar restoran, toko-toko, cafe, bar dan hotel tutup. Kawasan yang biasanya ramai turis asing, kini lengang seperti saat Nyepi. Sungguh saya sedih sekali.
"Bom Bali 1 dan 2, serta meletusnya gunung Agung sekalipun tidak terdampak separah ini." Pengelola guest house bercerita kepada saya sebulan yang lalu. Ah, Bali yang malang.
Kabarnya, tanggal 1 Juli nanti pariwisata Bali akan kembali dibuka. Doaku, semoga Bali pulih segera, seperti sedia kala. Astungkara.
0 komentar