“Mertuamu di Jepang tinggal sama siapa, Anna?” Ini adalah pertanyaan yang sering sekali saya dapatkan dari teman-teman saat kami ngobrol santai dan mulai membahas topik tentang keluarga.
“Tinggal berdua saja, tidak ada orang lain di rumah.” Jawab saya.
“Kalau tidak salah kamu pernah cerita kalau mertuamu usianya sudah 80-an kan ya, apa anaknya tidak ada yang kasihan gitu, kok tidak ada yang menemani?”
Errrrr....
Saya lalu menjelaskan bahwa para orang tua di Jepang yang berusia lanjut itu memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan budaya dan pandangan orang tua di negara kita. Orang tua di Jepang sudah mempersiapkan masa pensiunnya sedemikian rupa sejak mereka masih muda, sehingga saat usia senja mereka tidak menjadi beban dan merepotkan anak-anaknya. Mereka sudah mempersiapkan keperluan jika kelak mereka harus menjalani hari-hari di aged care atau panti jompo. Mereka bahkan sudah mempersiapkan segala keperluan saat mereka meninggal, seperti upacara kremasi, pemakaman, dan sebagainya. Saking tidak mau merepotkan orang lain, mereka bahkan sudah memesan EO (event organizer) yang akan mengurusi segala keperluan pemakaman jauh-jauh hari, saat mereka masih sangat sehat.
Sangat bertolak belakang dengan budaya kita yang (sebagian besar) orang tuanya pasrah dan berharap anaknya berbakti dan mengurusnya kelak saat tua. Syukur sekali jika anaknya berbakti, kalau tidak, betapa nelangsanya. Kalau dipikir-pikir, orang tua di negara kita ‘pamrih’ sekali ya, karena bayi baru lahirpun didoakan supaya ‘menjadi menusia yang berguna bagi nusa bangsa dan berbakti pada kedua orang tua.’ Banyak juga saya mendengar saran ‘sebaiknya punya anak lebih dari satu’. Ketika saya tanya kenapa begitu, jawabannya “Ya supaya bisa gantian merawat kita nanti kalau sudah tua!” Mirisnya komentar tersebut datang dari beberapa orang yang saya kenal lumayan dekat.
Saya pribadi, karena besar di lingkungan dengan budaya negara kita dimana anak diwajibkan untuk berbakti kepada orang tua, tidak bisa mengelak dari kewajiban itu. Bukan, bukan saya tidak mau berbakti, tapi alangkah indahnya jika bisa berbakti tanpa tekanan kewajiban. Di tambah lagi karena saya anak sulung, dari saya masih balita saya sudah dipaksa untuk bersikap dewasa karena memiliki tanggung jawab yang berat, yaitu membantu orang tua, menyokong perekonomian keluarga, menjadi tukang momong bagi saudara saya yang lebih muda, serta menjadi contoh baik bagi adik-adik saya. Kabar baiknya, saya 6 bersaudara, dan ayah saya meninggal saat saya baru masuk SMP. Silahkan bayangkan bagaimana saya melalui masa kecil saya yang penuh tanggung jawab dan beban berat, saat itu. Hal itu masih berlanjut, bahkan hingga saat ini.
Pernah mendengar istilah generasi sandwich? Generasi sandwich adalah angkatan dalam keluarga yang harus memberikan dukungan (umumnya berupa dukungan finansial) kepada dua generasi sekaligus yaitu kepada orang tua dan anaknya. Saya merupakan salah satu dari sekian banyaknya generasi sandwich yang ternyata jumlahnya lumayan banyak, di negara kita ini.
Saya tidak ingin menjadi anak durhaka atau menyesali keadaan dengan berangan-angan yang muluk-muluk seandainya saya anak tunggal, seandainya masa kecil saya bahagia, dan seandainya yang lain. Saya menerima keadaan saya apa adanya dan berusaha semampu saya. Point pentingnya, biarlah saya seperti itu asalkan anak saya kelak tidak perlu menanggung beban yang sama.
Karena menikah dengan warga negara asing yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di negara barat, praktis sedikit banyak mempengaruhi pola pikir saya dan membuat pikiran saya menjadi semakin terbuka. Saya jadi belajar banyak hal dan mulai memilah budaya mana yang sebaiknya saya lestarikan dan budaya mana yang seharusnya saya tinggalkan. Saya tidak bermaksud untuk menjadi tidak nasionalis dan tidak ada sedikitpun niat membanding-bandingkan budaya negara suami dengan budaya negara kita, yang ada saya mempelajari keduanya dan berusaha bersikap bijak demi kebaikan kami semua.
Karena sekarang saya juga sudah menjadi orang tua, maka saya ingin budaya ‘orang tua pamrih’ atau generasi sandwich itu stop di saya, tidak berlanjut ke anak saya. Saya ingin menjadi orang tua yang baik dan mandiri, yang tidak menyusahkan hidup anak saya nantinya. Saya dan suami sepakat untuk berusaha semaksimal mungkin mensupport anak kami sampai usianya 18 tahun atau sampai lulus SMA, setelahnya kami akan fokus mempersiapkan masa pensiun kami sendiri.
Harapan kami, setelah anak berusia 18 tahun, ia bisa mulai bekerja untuk menyokong hidupnya sendiri, tanpa harus memikirkan bagaimana membantu kehidupan orang tuanya. Kami berharap ia akan berusaha membiayai sekolahnya sendiri dengan cara memperoleh beasiswa atau meminjam uang dari pemerintah untuk membiayai kuliahnya (student loan). Oh ya, jangan dipikir kami jahat dan mementingkan diri sendiri. Sebetulnya kami juga menyiapkan biaya pendidikan, namun kami ingin anak berusaha terlebih dahulu.
Saya rasa, negara kita Indonesia ini akan menjadi lebih maju dan mandiri kedepannya jika mampu mengurangi bahkan menghilangkan generasi sandwich ini. Oh ya generasi sandwich biasanya akan muncul saat orang tua gagal mempersiapkan finansial di masa tuanya. Atau bisa dikarenakan masa muda yang konsumtif sehingga tidak melakukan perencanaan masa pensiun yang baik. Memberikan dukungan kepada dua generasi sekaligus itu sangatlah tidak mudah. Tak hanya dibutuhkan tenaga dan kesabaran ekstra, tapi tentunya banyak sekali biaya, sehingga membebani finansial generasi sandwich. Bagi generasi sandwich yang telah memiliki kemandirian finansial tentu hal demikian bukanlah masalah, bahkan bisa menjadi kebahagiaan tersendiri. Sebaliknya bagi yang kondisi finansialnya terbatas, hal ini akan menjadi beban yang berat.
Ini pendapat saya pribadi ya, jadi mungkin akan ada pro dan kontra, dan itu wajar. Silahkan memberikan pendapat anda di kolom komentar jika ingin menambahkan atau memberikan pandangan lain.
0 komentar