Saat saya pulang kampung tahun lalu, ibu saya bercerita. “Si A mentereng sekali loh nduk. Pulang-pulang bawa mobil.” Tak lama beliau melanjutkan. “Si B juga sekarang rumahnya tiga loh nduk!”. Saya hanya nyengir.
“Jangan lupa nabung toh nduk, kalau punya rejeki beli anting. Masa telinga dibiarin kosong begitu.” Kali ini ibu terdengar menggerutu. Saya lalu pergi menghindar sebelum ibu memberi (lagi) wejangan-wejangan yang bertentangan dengan prinsip saya. Saya memang tak mengiyakan, namun juga tak ada niatan berdebat atau melawan. Bagi ibu saya, rupanya memiliki banyak rumah, punya mobil dan badan penuh dengan perhiasan itu adalah simbol kesuksesan. Padahal tidak selalu demikian.
Saya sudah pernah menjelaskan bahwa saya dan suami sedang menabung untuk pindah ke Australia, yang mana membutuhkan modal yang sangat besar. Karena kami berniat menyekolahkan anak kami ke sekolah di Australia dan memulai hidup baru di sana, ntuk waktu dekat kami tak memiliki rencana untuk membeli properti di sini. Kami tidak membeli mobil karena belum membutuhkannya. Kantor suami dekat rumah dan lebih efisien jika pergi naik motor saja. Naik mobil dan bermacet-macetan malah jadi tidak worth it karena memperlambat sampai ke kantor dan tidak ekonomis. Untuk jalan-jalan keluarga saat weekend, online taxi sudah sangat membantu dan nyaman. Jika ingin jalan-jalan keluar kota, kami bisa sewa mobil harian beserta supirnya. Jatuhnya maah lebih murah dan praktis, serta membantu perekonomian orang lain karena dengan menyewa mobil beserta supir maka memberikan lapangan pekerjaan untuk supir, bukan?
Saya juga pernah menjelaskan bahwa saya memiliki cincin berlian dan perhiasan tapi memang tidak suka memakainya karena takut tidak sengaja melukai kulit anak saat memandikannya. Dan memang saya lebih suka tampil polos apa adanya karena merasa lebih ‘enteng’. Yang lucu, sejak saya cerita soal keluhan ibu ke suami saya, suami menyarankan saya membawa serta perhiasan saat pulang kampung, bukan untuk dipakai tapi hanya untuk ditunjukkan ke ibu supaya beliau tidak terlalu khawatir dan menghindari wejangan-wehangan yang tidak ingin saya dengar atau saya bantah. Segitunya, hahaha.
Sejak menjadi minimalis dan membaca buku-buku Kiyosaki, saya jadi lebih bisa mengontrol keinginan dan kebutuhan. Membedakan mana yang liabilitas, mana yang aset. Mobil, sepertinya masih merupakan simbol kesuksesan bagi banyak orang setidaknya di sekitar saya. Di negara maju, orang membeli mobil karena kebutuhan, bukan untuk impressing others. Di Tokyo, orang dianggap kampungan kalau naik mobil, karena transportasi umum sangat baik sehingga lebih praktis, ekonomis dan efisien daripada naik mobil pribadi. Ditambah pula biaya parkir yang luar biasa mahal membuat orang berpikir bahwa memiliki mobil hanyalah tindakan pemborosan. Sebaliknya di kampung, transportasi umum masih terbatas, sehingga penduduknya bermobilisasi menggunakan mobil.
Nah, untuk orang-orang disekitar saya dan tetangga ibu saya tadi, dalam hal ini kebanyakan mobil adalah sebuah liabilitas dan bukan aset. Menurut Kiyosaki, aset adalah sesuatu yang menghasilkan uang untuk anda, sedangkan liabilitas adalah sesuatu yang membuat anda mengeluarkan uang untukny. Mobil yang dibeli untuk bekerja, misalnya untuk taxi online bisa dianggat sebagai aset karena menghasilkan uang untuk pemiliknya, sedangkan yang membeli mobil hanya untuk supaya terlihat sukses, mobil adalah suatu liabilitas. Harga mobil akan langsung susut setelah dibeli, pemilik juga harus membayar pajak dan segala pernak perniknya. Ironisnya, banyak orang-orang di sekitar saya (termasuk tetangga ibu saya) yang memilih opsi kedua, memaksakan diri untuk membeli mobil, padahal fungsinya hanya untuk bergaya saja. Banyak beberapa diantaranya yang akhirnya terjebak dalam hutang berbunga, bahkan dihantui debt collector karena tak sanggup membayar cicilan. Ah sungguh sayang.
Belakangan, saya mengikuti sebuah akun di instagram yang memberikan edukasi finasial bagi para pengikutnya. Namanya Jouska. Kebetulan, suatu hari Jouska membahas mengenai keputusan membeli mobil ini dan memaparkan dengan rinci perhitungan pengeluaran yang diakibatkan untuk mobil tersebut. Berikut ini rinciannya:
Source: instagram Jouska
Oh ya, ilustrasi di atas juga bisa diterapkan dalam keputusan membeli motor dan barang- barang lain.
Jadi bagaimana? Masih mau mengumpulkan liabilitas, atau aset?
2 komentar
Sama dengan komentar teman2 di Indonesia ketika mengetahui kami tidak punya mobil, (hanya) punya sepeda. Mereka ngga tau kalau disini infrastruktur untuk sepeda sangatlah bagus, belum apartemen kami di kota yang cuman 5 menit jalan kaki dari stasiun bawah tanah / metro terdekat. Punya mobil belum pajaknya 300%, harga bensin yang mahal dan susahnya mencari parkir.
ReplyDeleteKadang orang Indonesia harus sadar bahwa "standar kehidupan" mereka tidak bisa diterapkan di tempat lain, dan konsumerisme itu ngga bagus. Aku setiap pulang kampung selalu terheran2 sama hape temen2 dan saudara yang selalu paling baru atau barang2 terbaru punya mereka, sementara aku sudah tidak ganti hape ada 3 tahunan lebih :P (Terakhir karna memang lemot dan ngga bisa dipakai).
Iya betul sekali! Saat pulang kampung sepertinya sudah menjadi ajang pamer-pamer. Kendaraan, properti, gadget dan perhoasan sudah seperti simbol kesuksesan.
DeleteTerimakasih sudah mampir dan menyempatkan menulis di komen, Eva. Salam kenal 😊