“Aduh ganteng sekali bayinya. Siapa namanya?” Seorang teman melontarkan pujiannya saat berpapasan dengan saya di pusat perbelanjaan, 4 tahun silam.
“Terimakasih. Namanya Ayumi.” Jawab saya.
“Kok nama cewek?” Tanyanya lagi, bingung.
“Ya memang anak saya cewek.”
“Eh maaf ya, saya kira cowok. Ga pake anting soalnya. Kenapa belum ditindik?”
Berhubung suami sudah keluar dari toilet, sayapun pamit.
“Kenapa belum ditindik?” Adalah salah satu pertanyaan annoying yang kadang-kadang susah sekali saya jawab. Tampil berbeda di negara kita ini memang dianggap tidak wajar. Biasanya saya memilih menghindar dan mengalihkan topik pembicaraan jika sedang malas berdebat, atau menjelaskan jika memang diperlukan.
Keputusan untuk tidak menindik telinga anak ini sudah muncul bahkan sebelum saya hamil. Mulanya, saya dan suami menjenguk seorang teman saya yang baru saja melahirkan bayi perempuan. Suami takjub untuk pertama kalinya melihat bayi yang masih merah itu memakai anting, cincin dan gelang yang semuanya terbuat dari emas. Sampai rumah, suami mengutarakan kegusarannya terutama pada bagian telinga bayi tersebut.
“She is only 3 days old!” Katanya menggebu-gebu. Saya lalu berusaha menjelaskan bahwa dalam budaya Jawa, adalah hal yang biasa jika bayi perempuan ditindik dan dipakaikan anting.
Suami saya lalu cerita bahwa di negaranya tidak ada budaya menindik bayi. Wanita di Jepang jarang yang bertindik, kalaupun ada, itu dilakukan saat yang bersangkutan sudah dewasa. Jadi, bertindik atau tidak, itu adalah hak pribadi masing-masing. Lagipula, dengan menindik, akan meninggalkan lubang permanen di telinga. Kalau nantinya sang anak tidak keberatan sih tidak masalah, tapi bagaimana jika sang anak ternyata tidak menyukainya?
Saya dan suami lalu sepakat untuk tidak menindik telinga anak. Kami akan biarkan ia memutuskan sendiri saat ia sudah dewasa nantinya. Menurut kami, ini adalah keputusan yang adil bagi kami semua.
Menghadapi pertanyaan dari teman dan orang sekitar sih saya masih bisa berargumen atau menghindar, tapi menghadapi pertanyaan yang sama dari ibu saya yang masih tradiaional dan kolot, memerlukan pendekatan lain yang sedikit rumit.
“Aduh eman sekali, cucuku yang cantik ini dibiarkan gundul gak pakai apa-apa begini.” Begitulah reaksi ibu saya saat pertama kali saya membawa si kecil mudik ke kampung halaman saya di suatu daerah di Jawa Timur. Gundul bukan berarti botak, tapi maksudnya telinganya polos saja tanpa anting. Saya menjelaskan bahwa saya memberikan kebebasan kepada anak saya untuk memilih sendiri apakah mau ditindik atau tidak saat dia sudah dewasa.
Ibu saya ini tipe orang yang masih meyakini bahwa emas adalah simbol kemakmuran. Setiap kali pulang kampung, beliau selalu memberi wejangan yang intinya cara menabung yang baik adalah dengan mengumpulkan (perhiasan) emas. Saya pernah menjelaskan ke beliau bahwa investasi emas yang baik itu daam bentuk emas batangan, bukan perhiasan. Namun beliau tidak setuju dengan alasan emas batangan tidak bisa dipakai. Haha. Saya hanya bisa maklum, karena lingkungan beliau ya kurang lebih seperti itu. Untuk mengakalinya, saya membawa perhiasan saya setiap kali mudik. Bukan untuk dipakai, tapi hanya untuk diperlihatakan ke ibu saya supaya beliau tidak khawatir. Tapi sepertinya beliau sama sekali tidak terkesan karena emas yang saya miliki berwarna putih dan bukan kuning. Beliau juga tidak percaya bahwa cincin pertunangan saya yang warnanya putih dan bermata kecil itu lebih bernilai daripada 60 gram emas. *Padahal itu berlian asli dan besarnya lebih dari setengah karat!
Saya tidak memaksa ibu saya untuk bisa mengerti keputusan saya. Seringkali saya mengalihkan pembicaraan ke topik lain dan tidak berusaha berargumen untuk menghindari kesalahpahaman yang tidak perlu. Tapi saya lihat, semakin kesini beliau semakin jarang mengomentari masalah tindik dan perhiasan ini. Mungkin beliau sudah mulai agak mengerti? Atau bahkan menyerah memberi wejangan yang tampaknya sia-sia? Ooops...
Oh ya, ini putri saya, Ayumi. Meski tidak ditindik, bagi saya dia cantik apa adanya, dan lebih berharga dari perhiasan manapun di dunia. *Proud mommy here 😊
0 komentar