Mungkin dari pembaca sekalian sangat familiar dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini:
Ketika masih kuliah: “Kapan lulus?”
Ketika sudah lulus kuliah: “Kapan kerja?”
Ketika sudah kerja: “Kerja terus, kapan punya pacar?”
Ketika sudah punya pacar: “Pacaran kok sampai tahunan, macam kredit motor aja. Kapan nikah?”
Giliran sudah menikah: “Kapan punya anak?”
Setelah punya anak, masih loh ditanya: “Jadi kapan si kecil punya adik?”
Errrrrr.....
Pertanyaan basa basi sebagai ice breaker untuk memulai obrolan seperti ini memang sudah membudaya di kehidupan sehari-hari. Beberapa memang serius kepo atau sekedar ingin tahu, sisanya saya yakin tak memiliki niat apa-apa. Masalahnya, tak semua orang suka jika ditanya-tanya soal persobal seperti itu. Ada loh yang malah tersinggung, lalu berusaha menghindar karena malas jika ditanya lagi.
Saya menyadari sepenuhnya jika pertanyaan tersebut mengganggu dan melanggar privasi sebagian orang, maka saya tidak pernah nanya-nanya karena toh masih banyak cara untuk memulai obrolan ketimbang menanyakan hal klise seperti itu. Saya tidak bisa mengendalikan keinginan orang lain untuk nanya ke saya, tapi saya punya pilihan untuk tidak nanya ke mereka.
Saya sendiri mentok ke pertanyaan terakhir, yaitu kapan putri saya punya adik. Biasanya saya hanya merespon singkat, “Oh, saya belum berencana punya anak kedua”. Saya akan sangat menghargai jika tidak ada pertanyaan lanjutan setelahnya, tapi kenyataannya entah mengapa bagi sebagian orang, jawaban itu terasa seperti mengundang lebih banyak rasa ingin tahu, dan membuat penanya malah merespon dengan kalimat menggurui.
“Loh, jangan begitu. Mumpung kamu masih muda, sebaiknya punya anak lagi. Yah, minimal satu. Supaya nanti tidak repot kamunya sudah tua, anakmu masih kecil-kecil.” Sebetulnya saya ingin tertawa dengan pemikiran aneh ini.
“Sepertinya untuk saat ini bagi saya satu anak sudah lebih dari cukup.” Saya mencoba bereksperimen dengan jawaban lain.
“Ya jangan begitu. Kasihan loh anakmu dia kesepian tidak punya teman main. Lagipula nanti kalau kamu sudah tua biar ada yang gantian merawat.” Aduh, betapa pamrihnya. Punya anak tujuannya supaya masa tua tidak terlantar.
Kalau sedang tidak ingin berdebat, saya iya iyakan saja lalu mencari topik lain atau menghindar. Tapi jika sedang punya banyak waktu dan ingin sedikit mengedukasi orang, saya menjelaskan panjang lebar alasan saya kenapa memilih demikian.
Para penanya yang terhormat, sesungguhnya punya anak satu, dua, tiga atau bahkan setengah lusin itu adalah pilihan pribadi masing-masing. Jika anda merasa mampu memiliki banyak anak, ya silahkan. Saya pribadi memang hanya punya satu, dan untuk saat ini tidak punya rencana untuk memiliki lebih dari satu karena kami merasa tidak mampu. Baik secara waktu, tenaga, emosi, dan finansial. Saya ingin memberikan yang terbaik bagi anak, dan beberapa dari itu tidak mudah dan tidak murah. Anak itu kan titipan Tuhan, harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Jadi saya berusaha semaksimal mungkin untuk tidak asal-asalan jika menyangkut masalah anak. Berusaha menyediakan pendidikan terbaik, makanan terbaik, fasilitas terbaik, dan ksih sayang terbaik. Karena hanya satu, saya bisa fokus berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Jika saya memiliki dua atau tiga, misalnya, saya tidak akan mampu menyediakan usaha terbaik seperti yqng saya lakukan saat ini.
Disamping itu, saya memiliki beban moral untuk menghindarkan anak saya supaya tidak mengalami apa yang saya alami dulu. Saat saya berusia 4 tahun, adik saya lahir dan sejak hari itu semesta hanya memberikan perhatian kepada adik saya. Selain merasa dinomorduakan, tak tagi menjadi prioritas, saya juga sering diberi tanggung jawab menjaga adik saya, padahal saya sangat tidak menyukai hal itu.
Lagipula, saya tidak memiliki angan-angan muluk-muluk tentang balas budi anak kepada saya nantinya. Yang saya inginkan hanyalah melihat ia bahagia dengan hidupnya. Saya sudah bersiap secara mental jika kelak ia harus pergi jauh mengejar mimpinya. Tidak apa-apa. Sekali lagi, anak itu hanyalah titipan. Suatu saat ia akan lepas dari genggaman. Tugas saya hanyalah berusaha menjaganya sebaik mungkin, hingga ia siap menjadi mandiri saat hari pelepasan itu tiba.
Saya tidak bermaksud menggurui, hanya menyampaikan pandangan saya saja. Barangkali di luar sana ada yang mengalami hal yang sama, semoga post kali ini bisa sedikit memberikan insight. Soal pilihan punya anak berapa, kembali lagi ke keputusan tiap pasangan. Bagi yang suka nanya-nanya, plis ya stop mulai dari sekarang. Bisa jadi, orang yang ditanya merasa tidak nyaman, seperti saya.
2 komentar
Postingannya menarik2 banget belakangan ini. Bayangkan komentar sanak saudara dan teman di Indonesia ketika mengetahui saya "childfree" alias tidak menginginkan punya anak ;)
ReplyDeleteKarena tinggal di Indonesia, childfree dianggap ‘tidak normal’. Tapi di negara maju, banyak orang yang malah tidak mau punya anak sampai-sampai pemerintahnya puyeng. Terimakasih sudah mampir, salam kenal 😊
Delete