Entah mengapa saya tiba-tiba teringat cerita tentang suami saya saat pertama kalinya melihat gabah. Kejadian ini berlangsung setahun yang lalu di kampung nenek saya di kecamatan Kalen, kabupaten Lamongan.
Setelah melewati hutan jati di daerah Ploso, perjalanan yang kami mulai dari Nganjuk semakin dekat dengan tujuan. Mobil yang kami tumpangi berbelok masuk melalui sebuah jalan kecil di kecamatan Kalen. Sepanjang jalan menuju Desa Kedungpring, kami melihat sawah luas terbentang di kiri dan kanan jalan yang kami lewati. Suami langsung sigap mengeluarkan kamera dan berfoto-foto. Pak supir yang mengantar kami tersenyum lalu berbisik, “Sawah itu barang langka ya mbak di luar negeri? Makanya sampai difoto segala. Hehehe.” Bukan karena tidak ada sawah, tapi suami saya menyukai panorama persawahan. Seumur hidupnya dihabiskan di kota besar, jadi melihat sawah baginya lumayan menyenangkan. Oh ya, suami saya orang Jepang tapi lahir di Sydney Australia dan besar di London, Inggris. Di Jepangpun orangtuanya tinggal di Tokyo, bukan di pedesaan. Jadi saya rasa wajar kalau dia menikmati pemandangan pedesaan, karena dia seorang city man.
Sampai di rumah nenek, kembali suami terbengong-bengong melihat butiran kuning yang terhampar di mana-mana.
“Itu gabah,” saya menjelaskan.
“Setelah padi dipanen, bijinya kan dipisahkan dari tangkainya lalu dijemur seperti ini. Namanyapun berubah menjadi gabah. Setelah kering, gabah akan diproses sehingga kulitnya terkelupas, dan jadilah beras. Beras yang sudah dimasak disebut nasi.”
“I have never seen such thing!” Katanya.
“ All I know padi is harvested and from there you produce rice.”
Hahaha. Dasar orang kota.
Dengan sigap, suami mengeluarkan kamera dan sibuk memotret gabah yang sedang dijemur itu.
Rumah nenek dekat dengan sawah. Suami saya tak melewatkan kesempatan untuk jalan-jalan di area persawahan. Begitu girangnya saat ia bertemu dengan sekawanan bebek yang lewat, melewati seekor sapi besar yang melenguh, anak-anak kecil bermain bola yang tiba-tiba menyerobot minta foto dengan ‘mister’, pohon pepaya yang berbuah lebat, dan seorang petani yang membajak sawahnya. Ia memotret dengan antusias.
Puas berjalan-jalan, kamipun kembali ke rumah nenek. Sudah sore, saatnya kami berpamitan untuk pulang kembali ke Nganjuk. Kami melewati jemuran gabah, suami saya tertatih-tahih berjalan di pinggiran, berusaha tidak mengijaknya.
“How do people passing the street if it is all covered by padi like this?”
Belum juga saya menjawab, seorang remaja nyelonong saja naik sepeda melewati gabah yang sedang dijemur itu.
“Stop!!!!!!” Suami saya teriak. Ia kaget. Saya kaget. Remaja itu terseok lalu jatuh dari sepedanya. Mungkin juga kaget.
Kami buru-buru membantu remaja itu berdiri. Untung ia tidak terluka. Saya meminta maaf dan remaja itu hanya tersenyum lalu pergi.
“You saw that? That is how people cross the street. Mereka cuek saja melewati gabah-gabah itu.”
“ But those are rice. For us to eat.” Tak terima kenapa orang tega sekali menginjak beras yang berharga.
Saya terdiam. Bingung bagaimana menjelaskan padanya bahwa hal ini sudah dianggap biasa?
Petani kita di desa biasa menjemur gabah di teras, di halaman rumah, bahkan di jalan raya, yang otomatis kadangkala banyak orang berjalan dan kendaraan yang melaluinya. Adakah solusinya? Mesin pengering gabah, mungkin?
0 komentar