Postingan ini saya tulis dikarenakan banyaknya pertanyaan dari beberapa teman dan kenalan mengenai prosedur dan persyaratan untuk menikah dengan WNA. Pada dasarnya, pernikahan beda negara bisa dilakukan di dua tempat, yaitu di dalam negeri, atau di luar negeri. Yang akan saya bahas adalah pernikahan dalam negeri, berdasarkan pengalaman saya sendiri. Kenapa tidak menikah di luar negeri saja? Saya dengar, menikah di luar negeri lebih mudah dan birokrasinya tidak serumit di dalam negeri, namun, ada beberapa hal yang mewajibkan saya harus menikah di dalam negeri. Pertama, karena kemauan ibu. Kedua, karena keluarga besar saya jarang sekali berkumpul bersama, dan momen pernikahan saya nantinya bisa dijadikan ajang pertemuan keluarga yang langka. Ketiga, bagi nenek saya, saya adalah cucu pertamanya yang akan menikah dan beliau akansangat menyesal jika tidak menyaksikan pernikahan saya. Keluarga dari pihak calon suamipun ternyata juga excited dan menyambut hangat acara ini. Setelah perbincangan panjang, akhirnya diputuskan bahwa pencatatan pernikahan dan upacara akan dilakukan di Jawa, lalu kami juga akan mengadakan perayaan di Jepang.
Oh ya, salah satu syarat utama untuk bisa menikah di Indonesia adalah kedua calon mempelai harus seagama. Dalam kasus saya, suami memutuskan untuk menjadi muallaf (masuk islam), karena saya muslim. Pertama yang harus dilakukan adalah ke rumah sakit untuk khitan. Jangan lupa meminta sertifikat khitan karena nantinya akan dipakai sebagai syarat menjadi muallaf. Saya dulu ke RS Siloam dan prosesnya mudah dan cepat, sertifikat akan ditandatangani oleh dokter bedah.
Setelah itu, hubungi masjid terdekat dan membuat janji untuk menjadi muallaf. Pastikan masjid nantinya mengeluarkan seritifikat muallaf karena sertifikat ini nantinya dibutuhkan sebagai salah satu syarat menikah di KUA. Kebetulan saya punya teman pengurus masjid, dia mengundang beberapa temannya untuk ikut serta dalam upacara dan membantu saya menyiapkan nasi tumpeng untuk acara. Siapkan nama islam untuk calon muallaf karena nantinya di sertifikat akan dicantumkan nama islamnya. Persyaratan administrasi untuk menjadi muallaf ini adalah sertifikat khitan dari rumah sakit dan fotokopi paspor atau kitas jika ada. Upacaranya sendiri sekitar satu jam, termasuk doa dan syukuran. Oh ya, jangan lupa siapkan amplop untuk pak Kiai yang akan memandu jalannya upacara. Besarannya seikhlasnya. Setelah acara, sertifikat jadi kurang lebih seminggu kemudian.
Selanjutnya, siapkan dokumen untuk kedua belah pihak. Untuk WNA, silahkan datang ke kantor konsulat. Karena suami saya orang Jepang, maka perginya ke konsulat Jepang. Ke konsulat ini tujuannya adalah menerjemahkan akta kelahiran ke dalam bahasa Indonesia, serta membuat CNI atau certificate of no impediment, alias surat keterangan yang menyatakan bahwa tidak ada halangan untuk menikah. Syaratnya hanyalah paspor dan koseki tohon (semacam kartu keluarga) yang diterbitkan di Jepang. Koseki tohon ini mertua saya yang urus, dikirimkan ke Indonesia lalu diserahkan bersama paspor ke konsulat Jepang. Di sana nanti berkas akan diterima dan WNA akan diberi formulir untuk diisi. Biayanya 350 ribu rupiah (seingat saya), dan sertifikatnya jadi sekitar seminggu kemudian. Oh ya, CNI ini dokumen penting, pastikan fotokopi yang banyak karena akan ada banyak gunanya di kemudian hari.
Jangan lupa sempatkan waktu untuk melakukan pre marital medical check up dan vaksinasi pra nikah. Ini penting, bagi kedua belah pihak. Anda tidak mau kan, kalau calon suami anda ternyat mengidap penyakit serius atau menular? Jadi harus dipastikan sehat keduanya. Rhesus darah juga akan di cek, memastikan bahwa jika terjadi kehamilan rhesus ibu dan ayah cocok. Sekitar seminggu kemudian, laboratorium mengeluarkan sertifikat.
Next,
Kalau surat-surat penting ini sudah ada, maka akan bisa bernafas sedikit lebih lega. Dokumen yang selanjutnya perlu diurus adalah dokumen untuk pihak calon mempelai perempuan. Karena tinggal di Bali sedangkan KTP saya Jawa, maka saya meminta yolong Ibu untuk menguruskan. Beliau datang ke kantor RT, RW, dan kelurahan untuk mengurus formulir N1, N2, dan N4.
Berikut ini dokumen yang perlu disiapkan calon mempelai WNI
- Surat keterangan belum / tidak menikah yang ditandatangani oleh RT dan RW.
- Formulir N1, N2, dan N4 dari Kelurahan dan Kecamatan
- Formulir N3 dari KUA (surat persetujuan mempelai yang harus ditandatangani oleh kedua mempelai)
- Fotokopi KTP.
- Akta Kelahiran.
- Kartu Keluarga.
- KTP orang tua.
- Buku nikah orang tua (jika Anda merupakan anak pertama).
- Data 2 orang saksi pernikahan, berikut fotokopi KTP yang bersangkutan.
- Pasfoto 2x3 (4 lembar) dan 4x6 (4 lembar).
- Sertifikat medical check up (pre marital check up).
Sedangkan syarat dokumen untuk WNA adalah sbb;
- CNI (Certificate of No Impediment) atau surat izin menikah di negara lain yang dikeluarkan dari kedutaan calon suami / istri.
- Fotokopi akta kelahiran.
- Fotokopi kitas jika ada
- Fotokopi paspor.
- Surat keterangan domisili (alamat calon suami / istri saat ini).
- Pasfoto 2x3 (4 lembar) dan 4x6 (4 lembar).
- Surat keterangan mualaf (jika agama sebelumnya bukan Islam).
Dari persiapan awal (khitan) hingga akad nikah, semuanya makan waktu sekitar satu tahun. Memang panjang dan melelahkan, apalagi dokumen dari suami sempat ditolak pihak KUA di Jawa karena mereka ngotot persyaratan calon mempelai harus punya KTP dan bukan passport. Saya harus menjelaskan lewat telepon untuk meyakinkan mereka bahwa WNA tidak bisa punya KTP seperti WNI, makanya diganti paspor dan kitas tapi mereka tetap ngeyel tidak bisa. Sayapun membujuk mereka untuk menanyakan ke pejabat terkait dan akhirnya bisa. Fyuhhhhh! Tau apa yang merka bilang ke saya saat dokumen sudah masuk? "Maaf ya mbak soal waktu itu. Maklum saya kerja di sini sudah lebih dari 20 tahun dan embaknya ini orang pertama yang kawin sama orang luar. Saya gak ngerti paspor itu untuk apa. Maklum saya gak pernah keluar negeri." Oalah Pak.. Pak.. ndak papa. Yang penting semuanya sudah beres, saya sudah lega.
Bagi teman-teman yang sedang mempersiapkan dokumen untuk menikah dengan WNA, semangat ya! It worth all the effort. Jika akhirnya bisa sah dan bersama secara legal, birokrasi bukan halangan, bukan?