Seminyak, 2013
Bukan, saya bukannya mau bernostalgia mengingat kembali aib-aib memalukan semasa saya menjadi trainee dulu. Namun, karena sekarang ini saya menjadi trainer atau mentor dan bukan lagi trainee, saya jadi ingin sedikit cerita mengenai ajaibnya anak didik saya.
Trainee saya ada dua orang, yang satu namanya Bean (namun kami semua memanggilnya Ben), sedangkan yang satunya lagi bernama Chandra. Dua mahasiswa ABG dari sekolah tinggi pariwisata Bali yang kurang beruntung masuk ke tempat yang salah, di hotel tempat saya bekerja dimana orang-orangnya pada sableng semua. Saya sedikit prihatin dengan nasib mereka, khawatir mereka bukannya mendapatkan ilmu yang baik selesai masa trainingnya di sini, tapi malah ketularan gila seperti kami semua.
Pertama incharge sebagai trainee sih mereka masih polos, lugu, manis dan malu-malu. Namun begitu kenal seminggu, baru ketahuan ternyata mereka kelakuannya ajaib juga. Yang kali ini saya mau ceritakan adalah si Ben, trainee yang hampir sebulan ini menjadi pengikut saya. Sedangkan Chandra, masih belum ketahuan ajaibnya karena baru akan menjadi pengikut saya berikutnya start bulan depan.
“Mbak Anna..” Ben yang manggil saya.
“Mmmm..” Jawab saya dengan pandangan masih menghadap ke monitor karena sibuk update profil tamu yang barusan check in.
“Mbak Anna…!” Ben manggil lagi. Seperti anak SD yang lagi caper alias cari perhatian sama emaknya, Ben akan terus manggil kalau saya nggak noleh ke dia.
“Apaaa…!” saya menjawab malas, sambil menoleh ke arah dia yang lagi menggunting-gunting kertas berisi password wifi.
Bukannya membalas, si Ben malah buang muka. Sayapun tak ambil pusing dan melanjutkan pekerjaan saya. Eh, si anak caper ini manggil lagi. Hadeuh!
“Mbak Anna, mbak Anna…” Ben manggil-manggil lagi.
“Apaaaaaa…” Haizzzz… saya yang temperamen ini jadi gak sabar.
“Ngomong dong. Dari tadi manggil-manggil mulu kamu ini.”
Ben nyengir kuda dan tanpa dosa bilang, “Gak apa-apa kok mbak. Hehehe..”
Duh…!
Meski suka manggil-manggil gak jelas (saya rasa dia sudah ketularan FOM saya - iya, FOM yang konyol itu – siapa lagi!), rupanya Ben punya hobby lain, yaitu curhat. Misalnya saat dia sedang tes praktek room division di kampusnya. Ceritanya, Ben akan tes praktek menghandle reservasi via telepon. Skenarionya, seseorang akan telpon dari ruangan sebelah dan pura-pura memesan kamar. Sebelum giliran Ben, seorang temannya yang mendapat giliran duluan terlihat sangat gugup, terlihat dari mukanya yang pucat dan berkeringat dingin. Apalagi saat mengangkat gagang telepon, suaranya terputus-putus dan bibirnya bergetar. “Ha- ha-lo…” katanya tersendat. Sayangnya tidak ada jawaban dari penelepon sehingga adegan diulang. dan begitu seterusnya hingga tiga kali berturut-turut, sampai seseorang mengetuk pintu kelas dan langsung masuk dan spontan komplain,” pantesan dari tadi saya telpon gak bisa dan nada sibuk terus. Orang itu teleponnya diangkat begitu.”
Semua orangpun menyadari sesuatu, teman Ben ini saking gugupnya sudah angkat telpon bahkan sebelum telepon berdering! Ya pantesan gak nyambung. Oalah! Perut saya sampai kram karena terlalu lama ketawa mendengar cerita Ben ini.
***
“Mana bullpen kamu?” Ini ketika suatu hari pas incharge sama saya sore hari, Ben saya tugaskan menghandle barang seorang tamu yang baru saja check out.
“Saya pinjam bulpennya mbak Anna dulu, ya?” Karena harus menuliskan nomor kamar dan jumlah barang di luggage tag, Ben yang kebetulan lupa tidak bawa bulpen meminta saya untuk meminjamkan bulpen sebentar padanya.
“Bulpen kamu kemana?” Nada suara saya sedikit meninggi.
“Saya lupa bawa bulpen.” Jawabnya polos.
Saya geleng-geleng kepala. Heran. Sudah tahu hotel tidak menyediakan bulpen untuk karyawan, dan saya orangnya paling senewen masalah bulpen karena bulpen saya hilang dicolong-colong mulu (tahu kan siapa pelakunya?), masih juga lupa bawa bulpen dan berani-beraninya minjem ke saya. Ibarat pepatah, sudah tahu singa itu galak, masih diajak main-main juga. *Pepatah dari mana itu ya?
Sayapun kesal dan membatin dalam hati, “ini anak niat gak sih? Training itu kan sama dengan sekolah. Bulpen itu sama pentingnya dengan tangan. Ada tangan gak ada bulpen, ya sama saja bohong.”
Tapi yang keluar malah kalimat lain, “Kali ini saja ya. Besok gak lagi-lagi pinjam bulpen!”.
Saya lihat wajah Ben pucat. Mungkin dia ketakutan, singanya benar-benar ngamuk.
Di akhir jam incharge, Ben pamitan kepada saya sebelum pulang.
Entah mengapa mulut saya dengan pedasnya nyelutuk, “Jangan lupa besok bawa bulpen sekotak, ya?”
Mulut saya otomatis saja, tanpa tendensi apa-apa.
Ben mengangguk dan melenggang pergi, masih dengan wajah pucat tanpa ekspresi, seperti tadi siang.
Keesokan harinya, saya incharge bareng Ben lagi. Saya lihat wajahnya cerah.
Saya merasa menyesal karena sudah memarahinya kemarin dan berkata pedas. Saya berniat akan minta maaf. Dalam hati saya khawatir juga kalau dia menjadi patah semangat dan menganggap orang-orang yang kerja di hotel itu judes-judes seperti saya.
Belum juga saya sempat saya menyapanya, dia dengan riangnya menghampiri saya sambil membawa sesuatu.
“Ini buat mbak Anna.” Katanya dengan wajah polos, menyodorkan sebuah kotak yang ternyata sekotak bulpen!
Saya melongo. Takjub, semakin merasa bersalah, bingung, haru, dan sedih bercampur aduk jadi satu.
“Ben, aku kemarin tidak ada maksud apa-apa. Aku minta maaf kemarin sudah marahin kamu cuma gara-gara bulpen. Kamu gak perlu bawa bulpen segini banyak…” Saya nyesek sendiri. Saya benar-benar merasa bersalah dan menyesal sudah terlalu jahat dan galak. Padahal Ben hanya trainee, yang seharusnya saya bimbing, bukan saya marahi.
“Bukan karena kemarin kok, Mbak. Tak apalah saya beli bulpen sebanyak ini. Kan bisa berguna buat yang lain juga. Misalnya kalau saya sudah selesai training, bulpen saya masih di sini dan dipakai sama kalian, setidaknya nantinya bisa jadi kenangan, bulpen ini peninggalan saya.”
Saya makin nyesek dan rasanya ingin menangis dalam hati.
Sejak saat itu, Ben tak pernah lagi lupa bawa bulpen. Dan, meskipun tahu saya galak dan jahat, saya takjub juga ternyata Ben bukannya menjauhi saya, tapi malah semakin dekat dan perhatian kepada saya. Ben memang terkadang konyol dan menyebalkan, namun ia juga ternyata berhati lembut. Seperti waktu nyepi, di saat yang lain mungkin sedang sibuk dengan diri masing-masing, Ben ternyata masih sempat meluangkan waktu mengirim pesan untuk saya via whatsapp, mengkhawatirkan keadaan saya yang incharge sendirian di lobby, menanyakan apakah saya baik-baik saja. Hati saya membiru, haru.
Cerita lain tentang istimewanya trainee saya yang satu ini…
“Tamu yang barusan itu baik banget deh mbak.” Katanya suatu hari selesai mengantar seorang tamu yang barusan check in sama saya.
“Baik kenapa? Kamu dapet tip banyak, ya?”seperti biasa, mulut saya nyeplos tanpa perasaan. Ngomong ngawur dengan mata masih fokus dengan layar komputer.
“Bukan begitu, mbak.” Katanya lagi.
“Tamu ini ngasih saya kesempatan bicara, mbak. Saya merasa dia memperhatikan setiap keterangan yang saya berikan. Saya merasa dihargai.”
Saya berhenti sejenak. Ini menarik.
“Saya cuma dapat tip sepuluh ribu.” Katanya lagi sembari membeberkan selembar uang kertas lusuh sepuluh ribuan dari sakunya.
“Saya lebih suka nggak dapat tip tapi apa yang saya katakan didengar, mbak. Dengan begitu saya jadi semangat dan lebih mengerti peran customer service. Daripada dapat tip seratus ribu tapi tamu mengacuhkan saya. Seratus ribunya palingan gak akan awet sampai dua hari. Habis ya habis saja. Selesai sudah. Tapi pengalaman didengar tamu dan perasaan dihargai, meskipun saya sudah tidak jadi trainee lagi disini nantinya, itu masih akan saya ingat sampai saya lulus dan kerja jadi customer service betulan.”
Saya trenyuh. Tak menyangka. Ben yang kadang-kadang slengekan ini ternyata berhati besar. Moral of Ben’s story: penghargaan seorang customer service yang sesungguhnya bukanlah pada besarnya tip yang diberikan tamu, tapi besarnya apresiasi tamu terhadap service yang kita berikan.
Saya merasa beruntung bisa menjadi trainer untuk Ben, meskipun mungkin saya bukan seorang trainer yang baik. Ben secara tak langsung mengajari saya untuk merubah saya menjadi pribadi yang lebih sabar dan menjadi pendengar yang baik. Masa training Ben sebentar lagi akan habis. Saya harap, Ben tetap berhati besar dan menjadi hotel staff yang baik nantinya saat terjun betulan di hospitality industry yang sebenarnya. Semoga.
*Update: Saat ini Ben sudah menjadi front desk staff di salah satu chain hotel terbesar di dunia di Dubai, UAE.
Tahun 2017 lalu saat pulang ke Bali, Ben menghubungi saya dan mengajak bertemu. Ben banyak bercerita mengenai pekerjaannya sebagai staff hotel (sungguhan) di Dubai. Ia banyak bercerita mengenai pengalaman-pengalamannya di hotel, mulai dari tamu-tamu yang demanding, hingga betapa ajaibnya kelakukan teman-temannya yang berasal dari berbagai macam negara. Ia juga secara khusus menyampaikan terimakasih karena saya telah mendidiknya menjadi front officer yang baik. Saya sangat terharu. Meski sudah sukses, Ben tidak melupakan saya.
1 komentar
hoaaa telat bacanya.... tp nice quote, nyenengin tamu emang lebih puas secara batin pribadi dari sekedar nerima tip gede. salam buat ben klo msh ketemu... hehe, dr pembaca setianya emak :D
ReplyDelete