Satu hal yang menurut saya paling menarik selama training di Bali adalah orang- orangnya. Saya perhatikan, di daerah – dareah tertentu, Kuta, Nusa Dua dan Ubud adalah salah tiga daerah yang menurut saya lebih banyak orang asingnya ketimbang penduduk lokalnya. Pernah suatu petang saat saya menghabiskan waktu menonton tari Legong di Ubud, di akhir acara saya baru menyadari bahwa sayalah satu- satunya orang lokal yang menonton!
Suatu hari, saya dan salah seorang teman saya menghabiskan waktu libur di sela- sela training di sekitar pantai Kuta. Entah bagaimana mulanya, tiba- tiba kami ingin sekali mengunjungi monumen Bom Bali yang katanya berada di Kuta Square, jalan Legian. Kamipun dengan pedenya berkeliling pantai dan menemukan jalan berbelok ke kanan di ujung pantai. Jalan tersebut menikung kembali ke kanan dan hanya dengan bermodalkan feeling yang entah benar-entah salah, kami melewati sebuah art market. Dari sini kami lurus menyusuri jalan dan ujung- ujungnya kami sampai di sebuah perempatan dengan papan petunjuk: lurus menuju Denpasar, ke kiri menuju Tabanan, dan ke kanan menuju airport. Kami semakin bingung. Ternyata tak mudah bagi kami yang disoriented ini menemukan suatu tempat tanpa bantuan peta atau GPS. Sebenarnya Handphone saya sudah dilengkapi dengan fasilitas GPS dan google map, tapi karena pulsa yang terdapat di simcard saya tidak mencukupi untuk mengaksesnya, dengan terpaksalah kami tetap mengandalkan papan arah dan tentu saja – feeling.
Setelah berputar – putar tak tentu arah kami akhirnya berhasil kembali ke tempat semula, persis tepat di depan Hard Rock hotel yang menghadap ke pantai. Mau putar arah pun tak bisa, karena jalannya hanya satu arah. Mau tak mau, kamipun mengulang menyusuri jalan yang sama. Tepat di depan circle K, kami melihat seorang bule pengendara motor masuk melalui sebuah gang yang berada tepat di sebelah Bar yang saat itu sedang tutup. Kami mengintip sebentar. Ternyata gang itu dipenuhi oleh art shop dari ujung hingga ke ujung. Saya pun ikutan masuk, dan melihat ternyata di gang sempit ini tak hanya ada art shop, tapi juga restaurant, bar, diskotik, spa, butik dan salon. Tapi lagi – lagi kami tersesat. Entah karena terlalu asyik memperhatikan toko dan barang-barang antic yang dipajang atau apa, kami memasuki sebuah jalan buntu yang di ujung jalannya terdapat sebuah rumah kosong dan terdengar suara anjing menyalak di dalamnya!! Kami memutuskan untuk kembali dan saat itu kami melihat ada seorang cewek bule, dengan malu-malu akhirnya saya bertanya padanya letak monumen bom Bali berada.
“Excuse me, would you please to let me know where is Bali Bomb monument???”
Cewek tersebut mengernytikan kening dan dengan ragu – ragu menunjukkan arahnya. Mungkin heran mengapa kami yang orang lokal bisa tersesat disini, atau bisa juga mungkin dianggapnya kami orang jahat yang berpura-pura tersesat, karena setelah menunjukkan arah, cewek tersebut berjalan cepat meninggalkan kami.
Kamipun tergelak menahan tawa saat kami sampai di monumen setelah mengikuti petunjuk cewek bule tadi. Bagaimana tidak, kami berasa seperti orang asing di negeri sendiri. Lucu sekali, seharusnya orang asing yang bertanya arah pada orang lokal, tapi yang kami alami justru sebaliknya. Hehehe
…
Hal lain yang bagi saya menarik adalah ketika suatu hari saya (kembali tersesat) berjalan- jalan di legian. Dari ujung hingga ke ujung diskotek jedag jedug menyetel musik disko yang beradu satu sama lain. Saya asyik saja jalan sambil memperhatikan greeter – greeter bar tersebut yang berdandan macam – macam mulai cowboy hingga bikini yang hanya ditutup dengan kain transparan diatas lutut, menarik perhatian bule-bule pria agar mau mampir ke “rumahnya”. Sebagian lagi adalah café-café yang menyediakan fasilitas layar lebar untuk nonton piala dunia yang tak kalah berisiknya. Yang membuat saya takjub adalah, kira- kira 10 meter dari ujung jalan, terdapat sebuah balai desa yang saat itu sedang dipergunakan warga untuk latihan menggunakan alat music tradisional untuk upacara agama, terletak persis bersebelahan dengan sebuah pub yang musiknya ampun berisiknya. Saya tak habis pikir, bagaimana warga bisa berkonsentrasi latihan memainkan alat music dan merapalkan mantra sedangkan tepat di sebelahnya orang sedang mabuk dan hingar bingar berpesta.
Kesimpulan saya, warga bali sangat toleran dan menjunjung tinggi nilai- nilai agama, dan tak mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitar. Saya tak bisa bayangkan itu terjadi di kota tempat saya tinggal. Tempat-tempat tersebut pasti dengan seketika akan musnah diobrak abrik warga karena dinilai mencemari dan mengganggu ketenangan warga yang sedang beribadah.
0 komentar