Sebagian teman dan orang- orang yang bertanya kepada saya tentang Bali kebanyakan hanya menanyakan interesting places to see, akomodasi, atau transportasi. Tak ada satupun yang menanyakan bagaimanakah makanan secara umum yang ada di Bali. Padahal makanan adalah salah satu kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi apapun aktifitas yang anda lakukan dimanapun anda berada. Kenapa saya sewot??? Tidak ada maksud mengatakan makanan di Bali tidak enak, tapi ini hanya pendapat saya dan sangat subjectif. Dulu saya beranggapan bahwa makanan hanya ada dua jenis, yaitu makanan enak dan enak banget. Tapi begitu di Bali, entah mengapa saya kok jadi rewel dan pilih-pilih soal makanan.
Saat saya pertama kalinya ke Bali dan menginap di hotel berbintang 5 di Nusa Dua, saat itu pesawat yang membawa saya berangkat jam 7 pagi dan harus delay jam 8. Sesampainya di Bali jam 10 ( perbedaan waktu Bali dan Surabaya 1 jam), dan sialnya driver limousine (hanya karena factor keberuntunganlah saya mendapatkan fasilitas ini) yang sudah di booking ternyata ngacir entah kemana hingga satu jam! Saya sampai misuh – misuh sendiri seperti orang tersesat di bandara, celingak celinguk menunggu driver yang saya belum pernah kenal mukanya. Perjalanan selama 30 menit dari airport ke hotel terasa sangat lama, karena perut saya sudah krucak krucuk tak karuan. Tepat jam 12 siang, setelah proses checkin dan escorting yang agak lebay, saya pun sampai di kamar saya yang viewnya langsung menghadap ke laut! Horeeeee!!!!
Tak mau bersusah payah keluar kamar untuk makan siang di restoran hotel, sayapun memilih mengublak ublek hotel directory dan mencari room service menu. Ketemu! Tapi kok makanannya banyak yang berbahasa asing yang saya tak mengerti maksudnya. Yang paling gampang dan murah, tentu saja, sandwich atau burger. Tapi dasar saya ndeso, yang tak bisa kenyang jika tidak menyantap nasi. Pilihan saya langsung saja ke Indonesian food yang pilihannya hanya nasi goreng dan soto ayam. Apa boleh buat, jadilah saya order nasi goreng.
Tak lama menunggu, nasi goreng panas pun datang. Ketika petugas room service membuka penutupnya, saya lantas terbelalak. Nasi goreng saya tersaji di sebuah piring besar, lengkap dengan sosis ukuran besar, sate daging sapi yang ukuran potongan dagingnya besar-besar dengan bumbu kacang, paha ayam (atau kalkun?) goreng yang juga gak ketulungan gedenya buat ukuran saya, dan beberapa kondimen tambahan seperti acar timun, chopped chili, dan saos sambal. Saya pun bersemangat menyuapkan suapan pertama ke mulut saya. Tapi, kok, rasanya aneh. Nasi gorengnya bau asap dan sedikit hambar. Sayapun menambahkan taburan garam di atasnya. Tapi kok ya malah semakin tidak karu-karuan rasanya. Lalu saya mencoba ayam gorengnya. Rasanya juga aneh. Sepertinya ini ayam hanya dicelup sebentar di air garam lantas digoreng. Habis, tidak berasa bumbu sama sekali. Terakhir, Sate yang saya harap rasanya sesuai dengan lidah saya, malah sukses membuat saya jiper. Saos kacangnya berasa kencur!!! Kalau nasi goreng dan ayam gorengnya saya masih tidak bisa mengidentifikasikan bumbunya, khusus sate-nya ini, saya tak mungkin salah. Saya suka sekali dengan minuman beras kencur, bahkan sering dibuatkan sendiri oleh nenek saya kalau saya kebetulan bertandang ke rumah beliau. Makanya saya sangat yakin bumbu kacang yang ada di sate saya itu pakai kencur. Untuk lebih meyakinkan, sayapun akhirnya bertanya kepada petugas room service yang mengambil tray saya. Dan petugas tersebut mengiyakan. Tuh, kan?
Sorenya rasa lapar saya malah semakin tidak karuan jadinya. Saya pun memutuskan untuk keluar hotel dan berniat ke fastfood restaurant saja. Langsung saya cabut ke taxi counter dan memesan taxi dengan pedenya. Saat sopir taxi menanyakan tujuan saya, sayapun langsung saja bilang dengan tetep sok pede, “shopping mall, pak.” Dan sopir tersebut lalu memberhentikan saya di Bali Collection, mall kecil di kawasan Nusa Dua resort yang bisa saya tempuh hanya dengan jalan kaki dari hotel. Saya pun protes “ mall-nya kecil banget Pak? Sepi lagi! Gak ada yang gedean ya?” Tanya saya lagi dengan sok-nya padahal yang sebenarnya hanya karena mall itu tidak ada KFC atau McD nya. Hehehe..
Sopir saya lalu menawari saya ke Discovery mall di kawasan Kuta. Mendengar nama Kuta (yang notabene lebih terkenal dari pada Nusa Dua), saya pun tertarik dan mengiyakan saja. Perjalanan berlalu lumayan lama, dan saya mulai cemas, sudah 20 menitan kok belum nyampe-nyampe juga. Sopir taxi yang dari tadi saya tanya – tanyai (“kapan nyampeknya??”) pun mulai gerah, apalagi Kuta ampun deh padat dan macetnya. Mana jalan umumnya juga sempit begitu. 30 menit berlalu dan sampailah saya di Discovery mall. Saya sangat girang karena KFC ada persis di bagian mall paling depan. Tapi begitu melihat agrometer, saya kembali lemas. Rp. 120.000!!!
Sayapun lalu dengan rakusnya menghabiskan 2 porsi ayam, nasi dan softdrink. Saya sampe beli extra yang saya bawa pulang ke hotel. Balas dendam ceritanya, karena setelah itu saya kan harus pulang kembali ke hotel dan naik taxi dan harus membayar argo yang kurang lebih jumlahnya sama. Sampai di hotel, sambil menyantap ayam KFC yang tadi saya bungkus, saya sampai tersipu sendiri, “Oalah.. KFC.. KFC!” Inilah KFC termahal yang pernah saya santap. Hehehe.. tapi saya puas. Meskipun bersusah payah dan harus bayar taxi yang mahal, setidaknya rasa makanan yang saya makan sesuai ekspektasi.
Saya kira penderitaan saya harus kelaparan di bali akan berakhir malam itu, tapi ternyata saya salah. Paginya, saat akan breakfast, saya langsung saja nyelonong masuk ke salah satu restoran yang lokasinya menurut saya paling strategis, di depan kolam renang. Saya pikir enak saja menghabiskan waktu makan sambil melihat-lihat pemandangan indah bule-bule yang sedang berjemur—berharap ada yang ganteng yang bisa saya ajak PDKT—hehe.. tapi harapan saya musnah sudah ketika saya menyebutkan nomor kamar saya, waiter langsung tau saya menginap di executive room dan salah satu benefitnya adalah sarapan disediakan di lounge khusus tak jauh dari kamar saya. Tapi dengan tetap semangat, sayapun menuju ke lounge yang dimaksud dan barulah saya menyadari bahwa makanan yang tersedia di Buffet adalah continental breakfast yang isinya ‘hanya’ aneka macam roti, sereal dan hot dish berupa sosis dan samosa dengan ukuran mini. Tak ada nasi sama sekali seperti restaurant yang tadi saya datangi. Dengan malas, saya hanya mengambil 1 buah Balinese muffin ( roti kukus kalo di Jawa), 1 buah strawberry cheese cake, 1 buah sosis mini, 1 slice semangka, dan 1 gelas apple juice. Perut saya pun lagi-lagi protes karena tidak mendapatkan jatah yang semestinya. Tak lama, waiterpun datang dan memberikan selembar bill yang harus saya tandatangani karena sarapan termasuk dalam harga kamar. You know how much??? USD 35 atau setara 300 ribuan kalau dirupiahkan saat itu. Dalam hati saya misuh-misuh lagi, dan merencanakan pembalasan dendam nantinya setelah check out. Saya tak habis pikir, ini saya menginap di Hotel berbintang lima kok ya makanannya tidak ada yang sesuai dengan selera “perut” saya.
Check out dari Hotel di Nusa Dua, saya melanjutkan perjalanan ke Ubud. Sayapun check in di sebuah hotel tak berbintang tak jauh dari monkey forest di central ubud. Kapok ah, kalau nginep di hotel berbintang saya “trauma” kelaparan lagi. Aslinya sih hemat duit karena saya travelling juga budgetnya terbatas dan dapat fasilitas 5 stars hotel itu hanya suatu kebetulan. Di monkey forest saya hanya perlu mengeluarkan 400ribuan untuk 1 kamar deluxe dan sudah termasuk breakfast berupa nasi goreng (horeee…!!! Breakfastnya bener-bener nasi dan rasanya juga enak) serta teh, kopi atau jus buah sesuai permintaan. Sedangkan di Nusa Dua, saya harus bayar 10 kali lipatnya!!! Sayangnya, restoran di hotel ini hanya buka untuk sarapan dan makan malam, room servicepun tidak ada, sehingga makan siangnya saya harus kelayapan mencari sendiri di luar.
Sayapun jalan - jalan di sekitar area monkey forest dan berharap akan menemukan warung makan / café yang menjual makanan lokal. Tapi tidak ada! Toko-toko souvenir dan massage memang ada dimana – mana, tapi restaurant atau café malah jarang sekali. Itupun, jualannya turis sekali alias makanan Italia (yang pasta-pastaan gitu atau pizza), Mexican atau International food yang membuat lidah saya keseleo saat membaca draft menunya. Tapi saya tidak menyerah, sayapun melanjutkan perjalanan dan tepat di depan monkey forest, ada seorang ibu – ibu yang jualan nasi jenggo, semacam nasi kucing kalau di Jawa. Nasi jenggo dibungkus daun pisang, isinya berupa sekepal nasi (mungkin kurang dari sekepal malah, karena porsinya sedikit sekali), dan lauk pauknya berupa mie goreng, ayam goreng atau daging, kering tempe, dan sambal yang kesemuanya hanya sejumput. Harga per bungkusnya hanya Rp. 2.500 saat itu. Sayapun membeli 4 bungkus nasi jenggo yang langsung saya bawa pulang ke hotel (iya lah, kan malu kalau ketahuan makan nasi sampai 4 bungkus di TKP. Hehehehe..). Nasi jenggo ini, meskipun murah dan porsinya ampun-deh-pelitnya, setidaknya rasanya cocok dengan lidah saya yang orang Jawa tulen.
*)Nasi Jenggo penyelamat
Pesan Moral: Anda adalah seorang yang benar – benar beruntung jika anda bisa makan masakan apapun selama berlibur di Bali. Tapi, jika Anda adalah type orang seperti saya (dengan selera ndeso), maka bersiap-siaplah survive dengan makan nasi jenggo.
1 komentar
hahahahahahaha...
ReplyDeletenginep di hotel, makannya nasi jenggo...
tapi info yang berguna mbak, soalnya di bali kan banyak makanan yang gak halal, ya? lumayan lah buat referensi, makan nasi jenggo saja.. meski harus beli sampe 4 bungkus sekali makan!