Bagi kebanyakan wanita, sepatu atau sandal ber-hak tinggi atau lazim disebut high heels dengan berbagai bentuk dan macamnya seperti stiletto, prism, wedges, pump, atau cone memang seksi dan anggun. Beberapa wanita malah merasa tidak pede jika tidak mengenakan high heels dalam suatu kesempatan. Meskipun sedikit menyusahkan saat berjalan dan berefek kaki pegal jika terlalu lama digunakan, namun rasa- rasanya banyak wanita yang rela menanggung resiko tersebut demi sebuah penampilan. Istilah kerennya, “dress to kill”.
Saya sendiri bukanlah seorang penggemar high heels tingkat tinggi. Untuk penampilan sehari2 seringnya malah hanya mengenakan puppy shoes yang kata ayah saya punya pipi yang “chubby” sekali macam crocs. Atau malah sandal gunung semacam eiger saat saya jalan ke mall. Teman- teman saya sampai protes saat mengajak saya jalan karena penampilan saya sama sekali tidak “matching” dengan dandanan mereka yang sudah sedemikian rupa habis-habisan. Hehehe…
Tapi bukan berarti saya tidak memiliki koleksi high heels, lho… meskipun tak banyak, tapi setiap high heels yang saya miliki memiliki cerita masing- masing. Yang paling berkesan (pengalaman pribadi yang memalukan dan amit – amit jangan sampai terjadi lagi) adalah pengalaman bersama heels Bellagio yang saya beli di MOG (Malang Olympic garden) di kota Malang. Ceritanya saat itu saya baru saja lulus kuliah dan berniat akan mencari kerja. Semua interview attire saya rasa sudah lengkap. Hingga ayah saya meminta saya berpose mengenakan semua perlengkapan interview saya mulai dari baju, jas, rok, tas, hingga sepatu dan mengirimkannya lewat email. Beliau terkejut karena menurut beliau dandanan saya norak sekali (saya memakai cardigan lengan panjang abu2 dengan dalaman blouse putih, rok abu – abu, sepatu hitam heels 5cm, dan tas prada hitam ukuran 10 x 15 cm. silahkan tertawakan penampilan saya waktu itu! Saya yakin andapun setuju dengan pendapat ayah saya!) dan menyuruh saya hunting perlengkapan interview seperti yang telah beliau kirimkan lewat email (beliau mengedit photo saya, cardigan diganti degan jas warna biru navy senada dengan roknya, sepatu high heels tinggi banget gak tau berapa centi, dan tas hitam lebar tanpa motif). Dengan terpaksa, sayapun menuruti saran beliau. Di MOG saya membeli tas hitam dan sepatu dengan merk yang sama.
Hari yang telah dinantikan pun tiba. Saya dipanggil untuk interview. Sukses. Dalam hati saya memuji selera papi saya karena EAM yang menginterview saya juga terlihat terkesan dengan dandanan saya. Tiga hari berselang, saya pun kembali dipanggil oleh hotel yang sama untuk interview. Sayapun dengan pedenya mengenakan sepatu yang sama tanpa ada firasat apa- apa. Ternyata sesampainya di HRD, saya diberi tahu kalau saya diterima. Sayapun diantar ke laundry untuk mengambil seragam saya. Celakanya, sepatu tidak termasuk dalam uniform. Jadilah saya tetap memakai sepatu ber-hak 9cm tersebut dengan susah payah. Hari itu juga ternyata saya langsung diorientasikan berkeliling hotel, dikenalkan sana sini dengan senyum yang saya paksa- paksa, karena kaki saya sudah pegal tidak karuan. Entah karena sepatu saya yang memang terlalu tinggi, entah karena kaki saya yang pegal, enatah karena saya memang hipotensi atau karena kondisi saya yang saat itu belum siap… sayapun sukses pingsan! Saya lalu di bawa ke klinik untuk mendapatkan perawatan. Hari pertama saya kerja, sukses diundur hingga 3 hari berikutnya, menunggu saya pulih. Tiga hari berselang, saat saya incharge, hampir semua rekan baik itu staff dan manager menanyakan keadaan saya. Saat briefing time pun, duty manager sempat menanyakan kondisi kesehatan saya di forum. Saya jadi sangat malu… Saya kan tidak se- penyakitan itu Paaaaakkk…
Heels kedua yang memiliki sejarah yang cukup penting bagi saya adalah wedges 11cm merk fladeo yang saya beli di matahari bersama seorang teman. Mulanya saya tertarik dengan salah satu produk wedges crocs yang dipajang di toko online. Disana tertera harganya hanya USD 50, yang jika saya konversikan ke rupiah waktu itu sekitar 450 ribuan. Saya pun mencoba mendatangi store-nya di salah satu mall di Surabaya. Saya lihat sendiri, ternyata kok warna wedges yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang saya lihat di toko online-nya. Dan yang paling gila.. harga rupiah di toko ini menjadi 850ribu!!! Hamper dua kali lipat harga online-nya. Saya pun jadi ilfil dan beranjak ke SOGO yang letaknya berhadapan dengan matahari. Sayangnya, tak ada satupun footwear yang menarik perhatian saya (kalau boleh jujur sih sebenarnya ada, hanya saja saya tak kuat bayar harganya yang menurut saya terlalu mahal untuk ukuran saya waktu itu). Maka, beralihlah kami ke matahari. Tak disangka, saya menemukan beberapa wedges yang cantik sekali. Teman saya ini, meskipun boyish tapi seleranya tak pernah salah. Saya selalu mengajaknya menemani saya berbelanja untuk menjadi konsultan pribadi saya.
Beberapa wedges yang menjadi pilihan saya saat itu adalah wedges warna hijau tua berbahan beludru setinggi 7 cm, wedges warna hitam bertali dan wedges warna putih yang modelnya seperti wedges crocs. Sayapun meminta pendapat teman saya, tapi dia menolak ketiga- tiganya. Dia pun dengan judesnya mengatakan selera saya tidak bagus. Dan dengan cuek-nya dia menunjuk wedges new arrival di bagian fladeo. Warna hitam mengkilat, tinggi 11cm, dengan hanya satu tali melintang tepat di atas jari dan satu tali di bagian pergelangan kaki. Simple sekali tapi saya akui saya suka modelnya. Tapi melihat heelsnya saya jadi sedikit trauma. Teman saya pun meyakinkan saya. Diapun menyuruh salah satu mas- mas SPB berondong (ketahuan deh saya sudah tak muda lagi) untuk mengambilkan pair kiri wedges tersebut. Meski dengan raut muka ragu – ragu, mas – mas SPB tadi pun beranjak, dan kembalinya pun sangat lama. Teman saya sampai misuh – misuh karena tidak sabar menunggu. Dan seperti sebelumnya, selera teman saya tak pernah salah. Wedges tersebut pas sekali di kaki saya, warnanya juga pas dengan warna kulit saya yang sawo matang, heelsnya terasa tidak terlalu tinggi, dan tentunya nyaman sekali di kaki saya. Sayapun setuju membelinya dan jadilah kami berdua mendatangi mas – mas SPB yang sama di meja kasir.
Saya kira urusan akan jadi lancar. Tapi ternyata saya keliru. Mas – mas tadi menerangkan kepada saya bahwa wedges yang akan saya beli ini new arrival, harganya mahal dan tidak ada diskon. Rupanya teman saya tersinggung dengan ucapan mas- mas tadi. Dia pun menggebrak meja dan dengan sok borjunya menantang “ kamu kira kita gak kuat beli??? Kalo ngomong yang bener ya???!!!” kontan pengunjung yang lain pun menoleh ke arah kami. Setelah menyelesaikan urusan pembayaran saya pun cepat – cepat beranjak pergi. Teman saya masih ngomel – ngomel. Saya pun menenangkan, dan meminta maaf karena memang saat itu dandanan saya kere sekali. Ooops! Memang bukan sepenuhnya salah mas – mas SPB tersebut mengira saya tak kuat bayar.
Memang bukan sekali atau dua kali saya mengalami hal tersebut dan menurut pengamatan saya, belanja di Sogo jauh lebih menyenangkan karena SPG ato SPB-nya lebih care dan attitude-nya lebih baik. Saran saya, berdandanlah seperti orang berduit jika anda hendak berbelanja – atau hanya sekedar lihat-lihat diskon di Matahari.
0 komentar